Latest News

Belajar Menanggapi Suatu Peristiwa

Ada banyak insiden terjadi di sekitar kita. Seringkali kita merasa tidak oke atau sebaliknya mendukung. Oleh alasannya itu kita memperlihatkan jawaban atas insiden tersebut. Tanggapan yang baik ialah yang memiliki alasan yang masuk akal. Pada kepingan ini kita bakal belajar menanggapi suatu peristiwa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Pada kepingan ini juga bakal dipelajari cara mengomentari suatu persoalan. Komentar yang baik ialah komentar yang diberikan secara logis, supaya sanggup ditentukan pemecahannya.

Simaklah cuplikan insiden berikut ini!
Akhir Agustus diberitakan bahwa pemerintah kota Solo mewajibkan setiap rumah yang memiliki anak usia sekolah mematikan TV pada jam mencar ilmu (pukul 18.30- 20.30). Tujuannya supaya TV tidak mengganggu anak yang mencar ilmu (Koran Tempo, 29 Agustus 2007).

Ada banyak insiden terjadi di sekitar kita Belajar Menanggapi Suatu Peristiwa

Untuk memantau pelaksanaan kebijakan ini, pemerintah menerjunkan tim yang memonitor tiap rumah. Rumah-rumah warga didatangi setiap jam belajar. Kebijakan ini bersama-sama bukanlah hal yang baru. Kebijakan ini sudah dicanangkan semenjak empat tahun lalu. Namun pemantauannya gres dilaksanakan.

Jika tim pemantau menemukan pesawat TV menyala, warga diingatkan untuk mematikan TV-nya. Peraturan ini tidak hanya berlaku pada rumah tangga biasa tetapi juga berlaku di tempat umum. Ada lima tim yang bertugas, masing-masing memantau lima kelurahan setiap malam. Dari tiap kelurahan bakal dipilih rumah-rumah secara acak.

Larangan ini lahir dalam konteks untuk memperlihatkan kesempatan yang lebih baik bagi anak untuk belajar, sehingga prestasi sekolahnya meningkat. Karena itulah larangan ini pun ada “libur”nya, yakni pada Sabtu malam. Tujuannya ialah supaya anak mencar ilmu tanpa gangguan, maka selain mengharuskan mematikan pesawat TV, pemerintah pun meminta anak usia sekolah tidak keluar dari rumah pada jam mencar ilmu tersebut.

Walaupun tujuan dari kebijakan ini ialah supaya anak memakai waktu belajarnya dengan baik, ada manfaat besar sekali yang melekat pada kebijakan ini, yakni anak sanggup tidak mengecewakan terkurangi waktunya untuk “terkontaminasi” program TV. Waktu yang disebut jam mencar ilmu itu ialah ketika premetime, yaitu jam utama tayang TV. Primetime ialah ketika TV menampilkan program yang digemari penonton. TV pun paling banyak ditonton pada jam-jam tersebut, alasannya ketika itu banyak orang sudah selesai beraktivitas dan ingin beristirahat di rumah. Banyak orang menimbulkan TV sebagai “sahabat” di kala istirahat.

Pada ketika primetime, umumnya TV menampilkan sinetron. Ini ialah jenis acarayang disebut memiliki reting tertinggi, artinya paling banyak ditonton orang. Tayangan-tayangan ini tidak berisi muatan yang sehat, alasannya berisi percintaan remaja yang cukup berlebihan dan sinetron anak berisi kata-kata bergairah dan muatan gaib.

Banyak keluarga yan menghidupkan pesawat TV pada ketika primetime dengan aneka macam alasan, contohnya : rumah sepi bila tak ada yang suara TV, ada sinetron elok yang mau ditonton sang abang atau ibu, ada sinetron anak, dan sebagainya. Akibatnya, tentu saja banyak anak yang ikut menonton TV.

Dengan menonton pada ketika primetime, ditambah dengan menonton pada pagihari sebelum sekolah atau siang dan sore hari setelah pulang sekolah, anakpotensial untuk menonton TV lebih dari 2 jam sehari (data simpulan menunjukkanbahwa belum dewasa kita menonton rata-rata 5 jam sehari). Padahal, waktu maksimalyang diijinkan para hebat bagi anak menonton TV hanya 2 jam sehari.

Dengan demikian, kebijakan “puasa TV” selama primetime menyerupai yangdilaksanakan di Solo ialah kebijakan yang berdampak sangat kasatmata bagi anak.Mau tidak mau anak menjadi tidak menonton TV dan ini elok mengingat tayangan TV banyak yang tidak sehat bagi anak.

Jika jam-jam ini tidak dipakai untuk mencar ilmu (contohnya anak tidak ada PR atau ulangan, atau sudah mencar ilmu pada jam lain), pesawat TV yang mati menciptakan keluarga sanggup beralih ke kegiatan lain yang positif. Misalnya, belum dewasa bermain atau keluarga membaca atau mengobrol. Ini acara yang biasanya tak banyak dilakukan alasannya terganggu TV.

Dalam kondisi demikian, adanya peraturan pemerintah setempat ini menjadi sangat membantu. Kabar yang menggembirakan, Solo tidaklah sendirian sebagai kawasan yang punya hukum semacam ini. Kebijakan semacam ini telah berjalan di Kaliurang, Yogyakarta. Teman saya memberitahukan bahwa ada dua desa di wilayah ini yang telah bertahun-tahun menerapkan peraturan “TV mati pukul 6 – 8 malam”. Pada waktu itu, para orang sampaumur keluar rumah, saling mengobrol atau mendengarkan radio, sementara belum dewasa belajar. Warga desa justru merasa malu untuk menyalakan TV pada jam tersebut.

Kegiatan membatasi menonton TV ini juga saya dengar berlangsung di sejumlah daerah, menyerupai Ambon, NTB, dan Makasar. Setahu saya, kegiatan ini diprakarsai oleh LSM atau warga. Sebagian ada yang didukung oleh Komisi Penyiaran Indonesia Daerah setempat. Tujuan dari kegiatan ini ialah mendorong masyarakat supaya memakai pesawat TV dengan bijak.

Kegiatan di Solo, Kaliurang, dan kawasan lainya sanggup menimbulkan wangsit bagi kita untuk melaksanakan kegiatan yang sama. Kita sanggup melaksanakan pada keluarga sendiri, dan syukur-syukur meluas ke lingkungan yang lebih luas. Bentuknya sanggup atas inisiatif warga atau pemerintah turun tangan.

Mudah-mudahan ini sanggup terealisasi untuk terciptanya “wajah” Indonesia yang makin baik di masa depan, alasannya dengan mematikan pesawat TV anak tidak teracuni tayangan jelek sekaligus dia punya kesempatan mencar ilmu lebih banyak. Sumber: UMMI, edisi 06 Oktober 2007

Berikan jawaban terhadap bacaan “TV Mati Pada Jam Belajar”. Berilah alasan yang masuk akal. Sampaikan jawaban di depan kelas sampaikan secara lisan.
Selamat mencoba!

0 Response to "Belajar Menanggapi Suatu Peristiwa"

Total Pageviews